Cerpen Kancil Dan Siput

Cerpen Kancil Dan Siput

Cerpen berjudul Lukisan Kasih Sayang

Pak Saiful, seorang pelukis ternama, mempunyai seorang pelayan yang setia. Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air minum, dan makanan.

Pak Saiful selalu melukis di tempat yang indah sekaligus mengerikan. Tempatnya di bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-bunga itu.

Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa kecil yang permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai yang berwarna merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, lumpur rawa itu selalu menelan benda apa saja yang terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia.

Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya yang sangat indah. Lukisan seorang anak kecil yang sedang menggendong dan membelai anjing kecil berbulu coklat. Siapa pun yang melihat lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi anjingnya dan anjing kecil itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak.

“Mumu, coba ke sini dan lihat lukisanku!” kata Pak Saiful bangga.

“Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan harga mahal,” ujar Mumu.

Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman. Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi. Oh, semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin indah terlihat. Pak Saiful mundur beberapa langkah lagi dan memandang lukisannya kembali. Rupanya ia tak sadar bahwa ia tepat berada di tepi rawa.

Sementara itu Mumu melihat majikannya yang sudah berada di tepi rawa. Alangkah berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti ia terjatuh ke dalam rawa. Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya.

Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berkata dengan marah, “Apa-apaan kamu ini, Mu. Berani-beraninya kamu mau merusak lukisanku, atau mau mencurinya?!”

“Maaf, Pak, maksud saya…!” jawab Mumu.

Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu.

“Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan yang kurang ajar!” seru Pak  Saiful dengan wajah merah padam.

Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga.

Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena belum puas memandang, hari ini ia akan memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu oleh Mumu.

Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian ia memperpanjang jaraknya. Akhirnya ia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di balik pohon besar ada sepasang mata mengawasinya.

“Karya hebat. Aku sendiri pun hampir meneteskan air mata memandang lukisan itu. Orang akan tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka akan berpikir bahwa kasih sayang itu sesuatu yang amat penting dan berharga!” pikir Pak Saiful. Tanpa sadar Pak Saiful mundur lagi dan… oooh… ia terperosok ke dalam rawa.

“Tolooong… tolooong!” jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya akan terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut akan segera menjemputnya. Saat itulah Mumu muncul sambil membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah pohon besar dekat rawa.

“Pegang tambang ini, Pak!” kata Mumu sambil mengulurkan tambang. Lalu Mumu cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat bercucuran di wajah Mumu, namun akhirnya ia berhasil menyeret majikannya keluar dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan.

Ketika sadar, ia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah mengurus segala sesuatunya dengan baik.

“Terima kasih, Mumu, kamu menyelamatkan nyawaku!” kata Pak Saiful. “Maafkan aku!”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak kemarin karena saya ingin menarik perhatian Bapak. Bapak sudah berada di tepi rawa waktu itu. Saya kuatir Bapak akan jatuh. Tadi saya berjaga-jaga dan menyiapkan tambang karena saya kuatir Bapak asyik memandang lukisan dan terperosok ke dalam rawa!” kata Mumu.

Mumu, si pelayan setia mendapat hadiah dan kembali bekerja pada Pak Saiful. Kasih sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya membuat Pak Saiful makin menyadari arti kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada panti asuhan.

Cerpen berjudul Ripin

KETIKA kawan-kawannya berhamburan ke jalan raya, Ripin sedang susah payah menghitung jumlah kelereng yang dimenangkannya. Siang itu tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa masa kecilnya akan segera berakhir. Dua puluh dua, mungkin lebih. Ia cepat-cepat memasukkan kelereng-kelereng itu ke dalam saku celananya dan bergegas menyusul kawanannya.

Penarik perhatian kawanan itu tak lain adalah mobil pick up berpengeras suara dan digantungi poster besar berwarna-warni. Mesin mobil itu bergerung seperti tak mau kalah ribut dengan pengeras suara, membuat lagu Rhoma Irama terdengar lebih buruk dari yang biasanya Ripin dengar dari radio Bapak. Ketika mobil itu melintas di depan mereka, Ripin dikejutkan tatapan laki-laki di sebelah sopir yang sedang memegang mikrofon. Laki-laki itu punya cambang dan janggut yang rapi seperti Rhoma Irama. Rambut keritingnya pun seperti Rhoma Irama. Ripin sempat teringat bapaknya Dikin yang juga punya cambang, janggut, dan rambut seperti Rhoma Irama, tapi bapaknya Dikin sudah lama mati ditembak.

Entah siapa yang mulai, seluruh kawanan itu tiba-tiba saja sudah berteriak-teriak girang dan berlarian di belakang mobil. Berlari mengejar mobil yang lajunya tidak lebih cepat dari sapi, Darka, kawannya yang bertubuh paling besar, berhasil melompat naik ke bagian belakang mobil dan bertolak pinggang jumawa. Begitu beberapa yang lain mencoba mengikuti Darka dan terjatuh, sorak-sorai kawanan itu terdengar semakin riuh.

Ripin berlarian agak jauh di belakang. Duapuluhan kelereng yang dimenangkannya dan belasan yang lain yang merupakan modalnya, membuat kantung celananya sesak, dan kejadian semacam ini bukannya tak pernah ia alami. Dulu, jahitan di celananya sobek dan kelerengnya berhamburan. Kawan-kawannya berebutan mengambil kelereng-kelereng itu dan tak seorang pun bersedia mengembalikannya. Kali ini ia harus hati-hati.

Semula, Ripin berencana untuk mengikuti kemanapun kawanannya berlari, tapi pengumuman yang didengarnya dari pengeras suara itu membuatnya berhenti. Di antara suara musik ketipung dan mesin mobil, lamat-lamat didengarnya suara, seperti suara Rhoma Irama, sedang mengumumkan pasar malam, tong setan, dan rumah hantu. Nanti malam, di alun-alun. Ripin tercenung, lalu berbalik arah dan berlari pulang ke rumah.

Mak sedang duduk meniup tungku ketika Ripin menerobos masuk ke dapur sambil terengah-engah. Tak bisa ditangkapnya dengan jelas apa yang dikatakan mulut kecil anaknya. Ripin sibuk berceloteh sembari memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam sebuah kaleng bekas susu. Suaranya bertumpuk-tumpuk dengan bunyi kelereng yang satu per satu membentur dinding dalam kaleng. Hanya sepotong-sepotong dari kalimat Ripin yang bisa didengar Mak, tapi itu cukup. Tak ada pasar malam. Tak ada tong setan.

Ripin merajuk. Mengatakan setengah berteriak tentang kedatangan Rhoma Irama dan berharap Mak terbujuk. Mak berpikir, bagaimana mungkin Rhoma Irama mau datang ke kota busuk ini. Rhoma Irama cuma mau datang ke Cirebon atau Semarang. Tegal mungkin saja, tapi tidak kota kami. Begitupun, nama ini membuat raut muka Mak sempat berubah cerah sebelum kemudian keningnya berkerut cemas.

Ripin tahu itu. Ripin tahu kalau Mak diam-diam menangis setiap kali mendengar Rhoma bernyanyi di radio. Ripin bahkan pernah melihat Mak mendekap dan menimang-nimang radio itu. Padahal Mak sudah bersumpah tidak menangis. Sekeras apapun Bapak menghantam wajah Mak.

Ripin melihat cemas ke wajah Mak dan berharap sekali ini Mak masih mau berbuat nekat. Harapan ini malah membuat Ripin merasa berdosa. Terakhir kali Mak nekat, pulang nonton layer tancap Satria Bergitar, Bapak menghajar Mak sampai dini hari. Kalau sudah begini Ripin cuma bisa nyumput dibawah selimut dan menahan mulutnya yang menangis supaya tidak bersuara.

“Mak beli duwe duit,” kata Mak berbohong. Ripin tahu Mak menyimpan sedikit uang di kaleng biskuit tempat bumbu dapur. Cukup buat ongkos dan beli es lilin. Ripin marah karena Mak berbohong. Kemarahan membuatnya tidak lagi peduli pada ingatan atas bilur-bilur di wajah Mak. Mak, bohong itu dosa.

Sekali lagi Ripin menyebut nama Rhoma Irama, bersumpah demi Allah bahwa ia sudah melihatnya. Ganteng benar.

“Ganteng kien karo bapane Dikin.”

Mak tercenung. Ripin mengeluarkan semua senjatanya. Dia tahu, Mak senang dengan bapaknya Dikin. Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip dari belakang pintu. Suatu kali bahkan ia pernah melihat bapaknya Dikin sembunyi-sembunyi keluar dari pintu dapur rumahnya dan semakin bergegas begitu bersitatap dengan Ripin. Hari itu Mak kasih duit jajan, Ripin malah tambah curiga. Tapi Ripin tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada siapapun.

Raut wajah Mak mengeras. Mak pasti berpikir tentang Bapak. Mak takut. Ripin sempat berpikir untuk pergi sendiri ke pasar malam. Sepertinya itu tidak sulit. Semua orang pasti tahu dimana tempat pasar malam didirikan, ia tinggal tak perlu malu-malu bertanya. Sayangnya ia masih takut. Nenek dulu pernah pesan agar Ripin tidak membantah Mak atau Bapak. Jangan main kemalaman. Hukuman untuk anak durhaka adalah kehilangan jalan ke rumahnya dan dikutuk untuk tersesat selamanya, begitu kata Nenek. Ripin bergidik dan semakin cemas kalau Mak menolak ajakannya.

Dulu Mak dan Ripin bisa bersenang-senang setiap malam, karena Bapak bisa dipastikan belum pulang sebelum Subuh. Bapak tidur sepanjang siang, dan kelayapan sepanjang malam. Memang Mak belum sempat mengajaknya ke kota, tapi setidaknya mereka tidak pernah lewat tontonan apapun yang ada di kampung mereka. Mak bahkan menemaninya nonton TVRI di kelurahan.

Itu dulu, waktu Bapak masih jagoan yang paling hebat. Sekarang sudah ada jagoan yang lebih hebat dari Bapak. Kata orang-orang, jagoan ini seperti setan. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, dimana rumahnya, seperti apa tampangnya. Bapaknya Dikin salah satu korbannya. Suatu pagi ditemukan mayatnya mengambang di kali, luka tembak dua kali, di dada dan di dahi. Jagoan-jagoan setempat banyak yang sudah duluan mati. Dari namanya, Ripin menduga jagoan ini pastilah orang Kresten.

Semenjak jagoan setan ini berkeliaran, Bapak sering pulang. Bahkan bisa berhari-hari tidak keluar rumah. Mak dan Ripin jadi tidak bisa lihat tontonan dan Bapak jadi lebih sering menghajar Mak. Semenjak itu pula Bapak memutuskan untuk mengajar Ripin mengaji. Bosan menghajar Mak, diajar Bapak mengaji buat Ripin sama dengan bersiap-siap di hajar rotan.

Baru seminggu terakhir ini, Bapak rupanya sudah tidak tahan berdiam di rumah berlama-lama. Ia mulai sering keluar malam, tapi jadwalnya semakin sulit dipastikan. Tidak ada yang tahu untuk berapa lama ia pergi dan kapan ia pulang.

Sampai sore, Mak kelihatan gelisah, mondar-mandir di dapur. Ripin tahu kalau Mak gelisah artinya Mak sudah tidak tahan untuk dolan dan bersenang-senang. Mak sudah bosan dengar radio. Kalau sudah begini, Ripin tidak akan mendesak Mak lagi. Keputusannya sudah hampir bisa dipastikan, Ripin tinggal menunggu Mak menemukan jalan keluar. Sampai sore pula, Ripin ketiduran di kursi depan. Mimpi naik komidi putar.

Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar, Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.

Sehabis shalat, Bapak sudah menunggu di meja makan. Rotan panjang disiapkan di sisi kirinya dan Ripin mengeja huruf Arab di depannya dengan terbata-bata. Bapak sepertinya mabuk. Dari mulutnya keluar bau asam yang menusuk-nusuk hidung Ripin. Kalau mabuk, biasanya pukulan rotannya lebih keras. Belum dipukul Ripin sudah merasa tubuhnya nyeri.

Baru 10 ayat, Ripin melihat Bapak sudah menempelkan kepalanya ke meja. Di ayat ke-12, Ripin ragu-ragu bahwa yang didengarnya adalah dengkur halus Bapak. Di ayat ke-16 Ripin berhenti, Bapak sudah benar-benar tertidur. Dengkurnya keras sekali.

Ripin tak bisa memutuskan apakah sebaiknya ia pergi. Ripin tak bisa membayangkan kemarahan macam apa yang akan menimpanya jika Bapak tiba-tiba terjaga dan ia tak ada dihadapan Bapak. Pasrah, ia duduk dihadapan Bapak, dalam diam. Ia pikir, meneruskan mengaji pastilah percuma. Lebih baik diam. Sial, tiba-tiba Ripin kepingin kencing. Mak masih mondar-mandir di dapur. Ripin duduk tegang dan yang terlintas di kepalanya adalah wahana rumah hantu di pasar malam.

Menjelang maghrib barulah Bapak terjaga. Ripin masih duduk diam, menahan kencingnya, di depan Bapak. Keadaan menahan kencing membuat Ripin tidak terlalu siaga. Terjaga dan mendapati Ripin sedang mematung, membuat rotan di sisi kiri Bapak melayang ke arah tangan kanannya dengan keras. Ripin tersentak dan langsung memasang wajah pucat, tidak sepenuhnya karena perasaan sakit ditangannya. Ripin kencing.

Bapak mendengar bunyi gemericik itu dengan tatapan terpana. Ia melihat ke bawah meja lalu berdiri tegak menyambarkan rotan di tangannya ke wajah Ripin, sembari dari mulutnya tersembur sumpah serapah. Ripin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan Bapak terus memukulinya. Ripin tak bisa menahan diri untuk tidak menangis dan menjerit kesakitan. Dalam kesakitannya ia merasa menonton Tong Setan jadi semakin tidak mungkin, sehingga ia menjerit lebih keras lagi. Mak bergegas datang dari arah dapur, memegangi tangan Bapak dan memohon padanya untuk menghentikan perbuatannya.

Bapak memang berhenti memukuli Ripin, tapi hasrat memukulnya sudah terlanjur tinggi. Bapak menyabetkan rotannya beberapa kali ke tubuh Mak. Mak terduduk di lantai, dan bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, dan Bapak belum selesai. Mak tidak menjerit atau menangis. Mak diam. Tubuhnya seperti patung. Ripin berpikir bahwa kejadiannya akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Mak akan menutupi wajahnya, dan Bapak akan berhenti karena kelelahan.

Sore itu, ternyata tidak sama. Ripin tidak mengerti apa yang terjadi. Setelah beberapa lama sabetan rotan itu mengenai tubuhnya, Mak tiba-tiba mendongak, lalu menatap Bapak lekat-lekat. Ripin tahu apa artinya tatapan itu. Tatapan itu pernah ia tujukan pada Darka, sesaat sebelum perkelahian mereka dulu. Sebelumnya Ripin takut pada Darka, tapi saat ia menatap tajam-tajam itu, ia sudah tidak akan takut lagi. Mak sudah tidak takut lagi.

Hampir bersamaan, terdengar azan maghrib dari surau. Entah mana, azan maghrib atau tatapan Mak yang menghentikan Bapak. Bapak menoleh ke arah Ripin dan mengancam akan memukul Ripin lagi jika saat shalat nanti Ripin tak ada di surau. Bapak mengambil sarungnya dan berlalu membanting pintu.

Ripin tiba-tiba melihat Mak mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bangkit dengan sigap, lalu bertanya padanya, “Sira arep melu Mak apa Bapak?” Ripin menyebut, “Mak,” dengan gemetar. Mak masuk ke kamar, lalu tergesa-gesa memasukkan pakaian-pakaiannya dan Ripin ke dalam tas. Di depan lemari Mak sempat berhenti dan berpikir apa lagi yang perlu dibawanya. Tak jelas alasan Mak memasukkan kotak berisi perhiasan imitasi yang tidak ada harganya ke dalam tas itu.

Sebentar kemudian Mak sudah menggandeng tangan Ripin menyusuri jalan yang semakin gelap ke arah kota. Mak berjalan dengan langkah-langkah cepat dan lebar, dan Ripin kepayahan mengimbanginya. Tidak ada sepatah katapun diucapkan Mak dan Ripin melangkah dengan penuh perasaan takut. Jalan raya sudah dekat, kurang dari seratus meter. Tiba-tiba Mak berhenti. Terlihat berpikir keras, lalu berbalik arah. Setengah bergumam Mak bilang bahwa dia lupa bawa uang. Tergesa-gesa, Mak menyuruh Ripin menunggu. Tidak menunggu jawaban, Mak berlari ke arah rumah, meninggalkan Ripin sendirian.

Mulanya Ripin berdiri di jalan kampung yang lengang itu dan bermaksud menuruti Mak, namun kemudian kecemasan bergumul dan meningkat cepat. Ripin memutuskan berlari sekencang-kencangnya ke arah rumah. Tas besar yang dibawa Mak ditinggalkannya tergolek di atas jalan.

Terengah-engah, di depan rumahnya, ia mendapati pintu depan terbuka dan di dalam ruang tengah, ia dapat melihat Bapak sedang menjambak rambut Mak dan sedang menghantamkan kepala Mak yang kecil itu ke arah dinding.

Pintu masuk Tong Setan sudah dibuka. Orang-orang berebut membeli karcis. Ripin melangkah masuk dengan perasaan takjub. Orang-orang berebut menaiki tangga yang berdiri di samping tong yang sangat besar, dan Sam terdorong-dorong. Di bagian atas, Sam meniru beberapa anak yang menaiki undakan yang rupanya disediakan untuk anak-anak seukurannya. Orang-orang berebut melongok ke dalam tong.

Tong itu, Ripin teringat sumur di belakang rumahnya. Di dalam tong itu dua orang sudah mulai menjalankan trail. Lalu perlahan, seperti sihir, kedua motor itu mulai merambat di dinding tong dan semakin lama berputar semakin cepat. Ripin terkesima dengan apa yang dilihatnya sekaligus menyesal. Seandainya Mak bisa ikut. Ripin terus melihat ke arah kedua motor yang kemudian saling melompat-lompat satu sama lain. Ripin semakin terkesima begitu kedua motor itu menyusuri dinding tong sampai hampir sampai di ujungnya, begitu dekat dengan tempatnya berdiri. Tangan kecilnya bisa meraih motor-motor itu.

Tong Setan berakhir. Ripin ingin bertahan sebentar di sana, untuk menyaksikan lebih banyak lagi, tapi petugas tiket menemukannya dan mengusirnya pergi. Di luar, sebenarnya ada banyak yang belum disaksikan Ripin. Dia belum naik Komidi Putar, belum masuk Rumah Hantu, tapi tak ada uang sepeserpun tersisa dikantungnya. Kaleng tempat Mak menyimpan uang sudah dibuangnya dari tadi. Kaleng yang sekarang di genggamnya hanya berisi kelereng. Tidak ada yang mau menukar karcis masuk dengan kelereng.

Di luar, kompleks pasar malam begitu ramai. Kemanapun Ripin melangkah ia hanya melihat kegembiraan. Mak tentu akan senang, jika bisa ada di sini. Begitu ia ingat Mak, ia ingat Rhoma Irama yang mengumumkan pasar malam dengan mobil siang tadi.

Ripin mengikuti firasatnya untuk mencari arah sumber pengeras suara. Benar. Di depan sebuah meja berisi berbagai jenis jenggot dan cambang palsu, si Rhoma Irama berdiri, tetap dengan mikrofon dan suaranya yang merdu. Ia memakai pakaian yang gemerlap, persis yang pernah dilihatnya di sebuah poster Rhoma Irama. Ripin mendekat untuk memastikan sekali lagi. Jika benar ini Rhoma Irama, ia akan bisa menceritakannya pada Mak, biar Mak ikut senang. Harusnya ia berusaha lebih keras membangunkan Mak, tapi Ripin tidak tega. Tidur Mak pulas sekali.

Ripin sudah begitu dekat, dirinya dan laki-laki berpakaian gemerlap itu hanya dipisahkan meja, tapi laki-laki tidak sedikitpun memicingkan mata pada Ripin. Ripin mencoba menarik perhatian laki-laki itu, tapi rupanya ia sedang sibuk dengan berbagai pengumumannya. Iseng, Ripin mengambil satu ikat cambang dan jenggot palsu lalu menyelipkannya ke dalam kantong celananya. Laki-laki berpakaian gemerlap itu tidak menggubrisnya.

Ripin memutuskan untuk berseru padanya. “Hey, Rhoma Irama!” teriaknya lantang. Orang-orang di sekitarnya menoleh dan tertawa tercekikik. Laki-laki berpakaian gemerlap itu terkejut, lalu menoleh ke arahnya. Sadar bahwa teriakan bocah ini telah membuat lebih banyak orang memperhatikannya, laki-laki, dengan mikrofon di depan mulutnya, berkata. “Bukan. Bukan Rhoma.” Laki-laki lalu mengubah posisi berdirinya, seperti sedang berjoget. “Namaku Ruslan. Ruslan Irama,” katanya dengan suara yang berat dan basah. Orang-orang tertawa.

Ripin menatapnya dengan pandangan kecewa. “Hey, Bocah,” tegur Ruslan Irama. Ripin mendongak, gagal menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca.

Ripin menyebut namanya dengan gemetar dan malu.

“Ah, bagus sekali. Ripin. Ripin dari Arifin.”

Lalu Ruslan Irama tiba-tiba bersuara lantang. “Semua orang bisa menjadi seperti bang haji Rhoma Irama. Siapapun juga. Pengunjung pasar malam yang kami hormati, sambut calon artis besar kita, Arifin Irama,” kata Ruslan Irama. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meja Ruslan Irama bertepuk tangan ke arah Ripin. Lalu Ruslan Irama mengambil gitarnya. “Mulanya adalah akhlak. Lalu musik.” Lalu Ruslan Irama memetik gitarnya. Belum pernah Ripin melihat gitar yang begitu indah. Berwarna hitam mengkilat, dengan motif dengan warna emas. Suaranya nyaring dan halus.

Gitar yang indah itu masih terkenang-kenang ketika pasar malam bubar dan lampu-lampu mulai dimatikan. Persis di depan jalan masuk pasar malam, barulah Ripin sadar ia tak tahu kemana pulang. Neneknya benar. Rumahnya hilang.

Kebingungan, Ripin malah kembali melangkah masuk ke dalam komplek pasar malam. Langkah kakinya membawanya ke dekat meja Ruslan Irama. Ia terkejut melihat tidak ada siapapun di sekitar meja itu. Hanya ada sebuah gitar hitam mengkilat, tidak ada Ruslan Irama. Dengan hati-hati ia menyentuh gitar itu, lalu mengangkatnya. Ia semakin terkejut melihat betapa gitar itu begitu ringan.

Beberapa puluh menit kemudian ia menyusuri trotoar yang entah menuju kemana. Ia menyandang gitar yang dicurinya dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia ingat Mak. Ia tersenyum. Satu-satunya yang tidak entah adalah bahwa Mak akan selalu mencintai Rhoma Irama. Itulah yang akan diraihnya. Ia akan menjadi Rhoma Irama, bukan sekadar Ripin Irama. Setiap kali Mak akan memeluk dan menimangnya.

Sampai puluhan tahun kemudian, satu kenyataan gelap yang luput dimengertinya adalah bahwa malam itu, setelah kepala Mak menghantam dinding, Mak mati. Kenyataan lain yang tidak diketahuinya: beberapa hari setelah kematian Mak, mayat Bapak ditemukan mengambang di kali, dengan lubang di dada dan di dahi, di tembak jagoan seram bernama Petrus.

Ripin tidak pernah kembali. ***

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Tanggapan Singkat Beserta Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Suatu Sisi Dalam Hidupmu

Suatu Sisi Dalam Hidupmu

Siang ini begitu teriknya, matahari bersinar tak ada kompromi, menyengat dan membakar bumi, begitu panasnya. Aku berjalan terseok-seok membawa satu bakul nasi, yang harus masih panas, dua termos air panas dan dua lembar kain lap bersih. Ah, emak, kalau bukan karena perintah emak, aku tak akan mau membawa barang berat ini. Tapi emak, emak yang memerintah! Aku tak mau dibilang anak durhaka. Jadi, yah, siang yang panas ini aku harus mengantar pesanan emak.

Emak adalah tulang punggung keluarga, kalau tidak ada emak mungkin aku tidak bisa merasakan nikmatnya sekolah, belajar, berteman, dan semua yang menyenangkan. Sedangkan bapak, bapak tidak bisa diandalkan. Setiap hari selalu saja berjudi. Kalau tidak berjudi, ya, tidur molor di rumah. Dia sangat menyebalkan, tapi walaupun menyebalkan dan aku membencinya, dia adalah bapakku. Kasihan emak yang selalu menderita, kadang aku berpikir, coba kalau emak jadi bapak dan bapak jadi emak, mungkin keadaannya akan lebih lumayan.

“Aduh…”, tiba-tiba aku menabrak seseorang.

Krompyang…krompyang…krompyang, semua bawaanku jatuh berantakan, tapi untung saja bakul nasi sudah kubungkus dan kuikat rapat-rapat, kalau tidak, wah gawat, emak bisa nyanyi nih. Eh, iya, siapa yang kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan, ya ampun!!! Kerennya, aduh mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang gedongan nih.

“Maaf…”, tiba-tiba dia bersuara.

Aduh emak, copot jantungku. Waduh, gimana ya, gawat bin gawat nih. Wah, keadaan darurat…, cepat-cepat aku membereskan bawaanku dan cepat-cepat ku ayunkan kakiku, baru beberapa langkah…

“Eh, nona, permisi, maaf, aku tadi tidak sengaja”, katanya lagi.

“Sudahlah, aku yang salah. Maaf ya, permisi”, kataku kemudian dan akupun berjalan tergesa-gesa meninggalkannya.

Dari kejauhan dia masih memanggilku, “Nona, nona tunggu!”, tapi aku tak menggubrisnya. Aku malu! Bagaimana tidak? Dandananku amburadul, dan dia necis. Oh, dia, dia memanggilku nona, hi..hi..hi, lucu juga ya. Seumur-umur baru kali ini aku dipanggil nona. Ah, sudahlah, kalau melamun terus bisa-bisa nanti menabrak lagi.

Ah, capeknya, dari tadi siang aku harus membantu emak melayani pembeli. Lumayan banyak sih, sopir-sopir bus, sopir truk, penumpang-penumpang bus. Walaupun setiap hari dapat untung banyak, tetapi kalau aku sih, lebih baik tidak dapat uang daripada capek, tapi gimana lagi ya?!

Setiap hari kehidupanku selalu begini, pagi sekolah, siang sampai malam membantu emak. Malam hari, setelah membantu emak, aku belajar. Untungnya, aku tidak mempunyai adik maupun kakak, jadi kasih sayang emak selalu terlimpah padaku.

Setiap aku datang ke warung emak untuk membantu, emak sembari melayani pembeli, selalu menanyakan bagaimana keadaanku, tentang sekolahku dan mengenai teman-temanku. Dan akupun selalu menjawabnya dengan antusias dan bersemangat, walaupun aku tahu kalau emak kadang memperhatikan kadang pula tidak mendengarkan, tapi aku peduli, karena dengan bercerita pada emak, aku dapat menumpahkan semua isi hatiku.

Aku merasa puas, walaupun aku terlahir dari keluarga yang tak mampu, aku tak menyesal. Aku mempunyai emak yang selalu menyayangiku dan selalu mencukupi kebutuhanku walaupun masih kurang. Ah, itu tidak apa-apa. Tapi aku tak mau menceritakan bapak, karena aku memang tak tau apa yang harus diceritakan, lain halnya jika aku menceritakan emakku.

Kalau sedang tidak ada pembeli, kadang aku duduk melamun melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuk jenisnya berlalu lalang. Dari orang yang berdasi dan bersaku tebal sampai anak kecil yang tak berbaju. Sebenarnya Tuhan itu Maha Adil, diciptakannya bermacam-macam manusia, ada yang kaya, ada yang miskin, yang kaya harus membantu yang miskin, dan yang miskin harus menghormati yang kaya. Ah, benar-benar komplit.

Pada suatu sisi, ada orang yang makan dengan lahap segala makanan yang terhidang di hadapannya, di sampingnya duduk seekor anjing kecil, manis, tapi menurutku menjijikkan juga karena lidahnya yang selalu terjulur keluar dan meneteskan air liur. Si wanita yang mempunyai anjing itu makan dengan lahapnya tanpa memperdulikan sekelilingnya dan setelah selesai, ia memberikan makanan yang belum disentuhnya pada anjing tersebut.

Di sisi yang lain, ada seorang gelandangan yang mengais makanan di tong-tong sampah, jika mencari sisa-sisa makanan. Bila mendapatkan sisa makanan, tanpa memperdulikan apakah makanan itu layak atau tidak untuk dimakan, disantapnya dengan lahap. Begitu berbedanya suatu keadaan semacam ini.

Kadang, aku berpikir jika aku mempunyai kuasa seperti Tuhan, aku akan mengubah semua keadaan ini. Ah, kubayangkan bagaimana jika yang kaya berubah menjadi miskin dan si miskin berubah menjadi kaya, tak bisa kubayangkan jadinya.

Adzan Ashar menggema, seiring dengan terdengarnya suara deru mobil di luar, lamunanku menjadi buyar. Ah, kenangan masa lalu dan akupun bangkit serta melihat dari balik gorden jendela. Di luar sana, suamiku bersama anak laki-lakiku yang baru pulang dari les baru turun dari mobil. Suamiku, orang yang kutabrak dulu.

Aku tersenyum terkenang masa lalu, betapa indahnya. Aku pun berjalan menyambut mereka.

Emak…, suatu kata yang penuh arti untukku.

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Laporan Percobaan Singkat & Strukturnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

“Bulan itu ungu, Marno.”

“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”

“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”

“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”

Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.

“Bagaimana Alaska sekarang?”

“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”

“Maksudku hawanya pada saat ini.”

“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”

“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”

Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”

“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”

Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.

Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”

“Ya, ada apa dengan dia?”

“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”

Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.

“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”

“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”

“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”

“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”

Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.

“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”

“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”

“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”

“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”

“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.

“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”

Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”

“Kau anak yang manis, Marno.”

Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.

Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.

“Eh, kau tahu, Marno?”

“Empire State Building sudah dijual.”

“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”

“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”

“Tidak. Bisakah kau?”

“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”

Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.

“Kalau saja apa, Kekasihku?”

“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”

“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”

“Kau anak desa yang sentimental!”

Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.

“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”

“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”

Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.

Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.

Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.

“Aku merasa segar sedikit.”

Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……

“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”

“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”

“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”

“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”

“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”

“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”

Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?

“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”

“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”

“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”

“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”

“Aku membosankan jadinya.”

Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.

“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”

Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.

“Marno, kemarilah, duduk.”

“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”

“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”

“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”

“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”

“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”

“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”

“Ya, pohon-hari-natal.”

Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.

“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”

“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”

“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”

“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”

“Itu bukan mainan, itu piaraan.”

“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”

“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”

“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”

“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”

“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”

Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.

“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”

“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”

“Aku tidak tahu, Jane.”

“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”

“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”

Sekarang Jane ikut tersenyum.

“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”

“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”

Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.

“Aku harap kausuka pilihanku.”

Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.

“Kausuka dengan pilihanku ini?”

“Ini piyama yang cantik, Jane.”

“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”

Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.

“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”

“Oh? Kau banyak kerja?”

“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”

”Kaumerasa tidak enak badan?”

“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”

“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”

“Terima kasih, Jane.”

“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”

Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.

“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”

“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”

“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?

“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”

“Kautahu nomorku kan? Eldorado”

Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.

Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.

Cerpen berjudul Macan

Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Malam berhujan di hutan baik untuknya. Ini membuat manusia kurang waspada karena titik-titik hujan pada setiap daun menimbulkan suara di mana-mana di dalam hutan sehingga pendengaran mereka teralihkan. Apalagi jika manusia ini alih-alih memburu dirinya, malah bercakap-cakap sendiri, mungkin untuk menghilangkan ketakutan dalam kegelapan tanpa rembulan.

Ia merunduk di balik semak, antara bersembunyi tetapi juga siap menerkam. Iring- iringan manusia berjalan berurutan di jalan setapak di bawahnya. Di sisi lain jalan terdapatlah jurang berdinding curam yang menggemakan arus sungai di dasarnya. Suara arus tentu lebih mengalihkan perhatian. Gemanya bahkan membuat mereka harus berbicara cukup keras.

”Hujan begini Simbah tidak ke mana-mana kan?”

”Oooh kurasa hujan seperti ini tidak banyak artinya untuk Simbah, justru ini saatnya keluar untuk mencari mangsa yang menggigil kedinginan.”

”Berarti mangsanya itu kamu!”

Baginya ini hanya suara-suara karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya. Ada sebuah celah di antara dua pohon besar di ujung jalan setapak ini, yang membuat mereka harus berhenti sejenak ketika satu per satu melewatinya. Setelah melangkahi akar-akar yang besar, setiap orang akan menghilang di baliknya. Akar- akar pohon sebesar itu memang tidak bisa dilangkahi, akar-akar itu harus dipanjati, seperti memanjat pagar tinggi lantas menghilang di baliknya dan tidak terlalu mudah untuk segera kembali lagi.

Itulah saat terbaik untuk menerkam manusia yang paling belakang. Membuatnya terjatuh dan menggigit lehernya sampai lemas dan mati. Itu tidak dilakukannya. Untuk sekadar membunuh ia cukup muncul dan menggeram. Melihatnya menyeringai, manusia yang terkejut dan melangkah mundur akan terperosok dan melayang jatuh ke dasar jurang tanpa jeritan.

Ini juga tidak dilakukannya. Ia hanya merunduk dan mengintai. Ia tidak berminat membunuh manusia, bahkan tidak satu makhluk pun, selain yang dibutuhkannya untuk menyambung kehidupan—dan saat ini ia tidak kelaparan karena sudah memangsa seekor kancil tadi siang. Kancil bodoh itu seperti lupa bau kencing pasangannya, bapak anaknya, yang pada setiap sudut menandai wilayah mereka. Adalah wajar bagi mereka untuk memangsa makhluk apa pun yang memasuki wilayahnya. Dengan hukum itulah, nasib sang kancil sudah ditentukan.

Sebetulnya sudah lama bagaikan tiada makhluk apa pun akan memasuki wilayah mereka itu. Tidak babi rusa, tidak kijang, tidak pula burung-burung dan serangga. Pasangannya mesti mencari mangsa ke luar wilayah, begitu jauhnya sampai keluar dari hutan.

”Kambing kita lama-lama bisa habis dimakan Simbah,” kata salah seorang.

Namun bukanlah ketakutan atas habisnya kambing, yang membuat orang-orang kampung masuk hutan mencarinya.

Pada suatu hari pasangannya muncul dari dalam hutan di tepi ladang. Langsung didekatinya sesuatu di atas tikar, sesuatu di balik kain yang bergerak-gerak. Bagi makhluk besar yang lapar, makhluk kecil bisa terlihat sebagai santapan.

Lantas terlihat olehnya bayi manusia itu. Menatapnya sambil tertawa-tawa. Hanya makhluk manusia yang bisa tertawa di dunia ini, dan itu membuatnya tertegun.

Saat itulah dari tengah ladang mendadak terdengar suara bernada tinggi yang disebut manusia sebagai jeritan.

Malam tanpa rembulan semakin kelam. Hujan tidak menderas tetapi tidak juga mereda. Ia memperhatikan orang-orang itu menjauh. Mereka semua, dua belas orang bercaping maupun berpayung daun pisang membawa tombak dan parang serba tajam. Keriuhan mereka tidak akan menghasilkan tangkapan apa pun karena tiada seorang jua dari mereka adalah pemburu.

Ia tahu bukan orang-orang itu yang menjadi penyebab kematian pasangannya, melainkan pemburu yang masuk sendirian ke dalam hutan tanpa suara meski tubuhnya penuh senjata. Tombak di tangan, parang dalam sarung di punggung, pisau belati di pinggang kanan, dan umban di pinggang kiri.

Pemburu itu bahkan tidak bergumam. Membaca jejak di tanah, berjalan melawan arah angin, makan seperlunya dan tidak memasak di dalam hutan. Jika mulutnya bergerak- gerak barangkali mendesiskan rapalan.

Tentu pemburu itu telah melacak jejak semalaman ketika dengan tiada terduga, tetapi penuh rencana, muncul di depan gua batu tempat ia sedang menyusui anaknya. Ia segera menggeram dan berdiri melindungi anak jantannya. Pasangannya bahkan melompat dan menerjang ke arah pemburu itu, tetapi makhluk yang disebut manusia ternyata tidak hanya bisa tertawa, tetapi pandai memainkan tipu daya.

Sangatlah mudah bagi pasangannya untuk menyusul pemburu itu ke tepi hutan, menyeberangi ladang, dan siap menerkamnya di tengah lapangan, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menggeram-geram ketika ternyata muncul puluhan manusia mengepung sembari mengacung-acungkan tombak bambu ke arahnya. Pasangannya mencari celah, berputar-putar dalam kepungan yang semakin merapat, sampai hampir semua tombak itu menembus kulit lorengnya.

Orang-orang berteriak lega atas nama keselamatan anak manusia, kambing, sapi, ataupun kerbau mereka, meski dalam kenyataannya kambing, sapi, dan kerbau di kampung itu lebih sering diambil, dibantai, dan dikuliti di kandangnya sendiri oleh para bapa maling berkemahiran tinggi. Kawanan bapa maling datang lewat tengah malam mengendarai mobil boks. Dengan mantra dalam campuran bahasa asing dan bahasa daerah yang tidak pernah digunakan lagi, mereka menyirep seisi rumah yang di kampung itu jaraknya saling berjauhan. Pagi harinya hanya tinggal isi perut ternak berserakan dengan bau anyir darah di mana-mana.

Kambing yang diterkam penghuni rimba jumlahnya tidak seberapa dibanding pencurian ternak dengan mobil boks. Itu pun bisa terjadi karena kelalaian pemiliknya, jika tidak pintu kandang terbuka, sering diikat begitu saja di luar kandang, sehingga menjadi sasaran empuk makhluk pemangsa dari masa ke masa.

Bahwa bayi manusia seperti akan menjadi mangsa itulah yang mengubah segalanya.

”Akhirnya terbunuh Si Embah ini!”

Pemburu itu tidak berteriak, tetapi pengaruhnya lebih besar dari segala teriakan.

”Belum? Kita baru saja merajamnya begitu rupa sampai kulitnya tidak bisa kita jual.”

”Masih ada betinanya….”

”…dan masih ada anaknya.”

Saat pasangannya itu tewas oleh puluhan bambu tajam, ia yang ternyata mengikuti dari belakang dapat menyaksikan dari kejauhan. Saat itu tidak ada satu pun di antara para manusia melihat ke arahnya. Tanpa bisa memberi bantuan, ia hanya berjalan mondar- mandir dengan gelisah.

Ia masih berada di sana ketika menyaksikan betapa orang-orang kampung itu tetap menguliti pasangannya, dan membawanya pergi dengan mempertahankan agar kepalanya tetap tersambung pada kulit loreng tubuhnya. Katanya bisa menjadi hiasan dinding kantor kelurahan.

”Kita harus membunuh juga betinanya, ia pasti juga akan mencari mangsa di kampung kita!”

”Anaknya juga harus kita bunuh, kalau tidak tentu setelah dewasa membalas dendam!”

Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan ancaman.

Kini dalam kelam berhujan, ia mengawasi orang-orang yang memburu dirinya itu dari suatu jarak tertentu. Ia telah memindahkan anaknya ke goa lain yang sama hangatnya pada malam hari, dan karena itu ia tidak perlu khawatir mereka akan menemukannya. Pemburu itu mungkin akan bisa, tetapi tidak malam ini, karena belum tahu bahwa goa yang ditemukannya sudah kosong.

”Betinanya baru saja beranak, dan anaknya masih terhuyung-huyung kalau berjalan….”

Pemburu itu memberi petunjuk ke mana orang-orang kampung bisa menyergap makhluk pemangsa yang terandaikan bisa membalas dendam.

”Anakku sakit panas,” katanya memberi alasan. Dalam hatinya ia sudah bosan bekerja tanpa bayaran.

Demikianlah rombongan orang-orang bertombak yang bercaping ataupun berpayung daun pisang muncul di ujung jalan setapak di tepi jurang ketika ia berada dalam perjalanan memburu pemburu.

Ia merunduk di balik semak, membiarkan mereka lewat, dan membuntutinya sejenak untuk memastikan arahnya. Ia tidak membunuh seorang pun.

Setibanya di kampung yang gelap dan sunyi di malam berhujan tanpa rembulan, sembari melangkah tanpa suara, terendus olehnya aroma pemburu yang tengik itu dibawa angin dari sebuah rumah terpencil. Sebuah rumah yang sengaja berjarak dan menjauhkan diri karena penghuninya yang selalu berikat kepala kusam merasa berbeda dari para petani bercaping.

”Orang-orang dungu,” pikirnya selalu.

Terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti.

”Panasnya belum juga turun, coba ambilkan air yang lebih dingin dari sumur, handuk ini seperti baru tercelup air rebusan,” ujar perempuan yang sedang menjaram anaknya itu.

Kemudian pintu rumah kayu itu terbuka. Dari dalam membersit cahaya lentera. Seorang lelaki berikat kepala dengan bau tubuh yang tengik berlari kecil ke arah sumur sambil membawa baskom.

Hujan belum berhenti ketika ia meluncurkan ember pada tali timba ke bawah dan mengereknya kembali ke atas secepat-cepatnya.

Dalam kesibukan seperti itu pun, kepekaannya sebagai pemburu tidak pernah berkurang. Ia melepaskan tali timba dan membalikkan badan secepatnya.

Namun, kali ini sudah terlambat.***

Cerpen berjudul Obat Bosan dari Nenek

Obat Bosan dari Nenek

Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah yang ada di rumah. Mbok Nah sibuk menyetrika.

Lili merasa kesal dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita atau Oni.

“Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah.

“Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede? Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan.

“Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia ‘kan harus tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi ke kamar Ibu dan menelepon Nenek.

Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, kalau tiap hari begini Lili bisa mati. Bosannya setengah mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!” “Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu ‘kan penyakit yang paling gampang diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!”

“Tentu saja. Cucu-cucu yang tinggal sama Nenek segudang. Di sana ‘kan selalu ramai. Di sini sepi!”

“Selalu sepi tidak enak, selalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar sebentar. Nenek akan segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu!”

“Baiklah, cepat datang, ya Nek!” kata Lili dengan gembira dan meletakkan gagang telepon. Dalam hati Lili bertanya-tanya seperti apa kiranya obat bosan itu.

Kalau berbentuk pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk permainan, nah ini lebih asyik. Tetapi, mainan pun lama-lama bias membosankan.

Sambil menunggu Nenek datang, Lili mendekati Mbok Nah lagi. “Mbok, Mbok, Nenek mau datang membawakan obat bosan. Tahu tidak Mbok, obat bosan itu seperti apa sih?” Mbok Nah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

“Lili, Lili, mana ada sih obat bosan? Ada juga obat batuk, obat sakit perut, obat flu. Kalau Mbok Nah bosan, obatnya sih gampang saja. Stel saja kaset dangdut. Hilang sudah rasa bosannya!” kata Mbok Nah.

Sekarang Lili yang tertawa. “Kalau saya sih tambah bosan mendengar kaset lagu dangdut. Kaset lagu anak-anak saja, paling seminggu enak didengar. Sesudah itu bosan saya mendengarnya!” kata Lili.

“Ya, sudah. Kesukaan orang ‘kan Iain-Iain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa obat bosan yang bagaimana!” kata Mbok Nah. Empat puluh menit kemudian Nenek datang. Lili menyambutnya dengan gembira. Nenek mengeluarkan beberapa buah buku dari tasnya.

“Yaaa, obat bosannya bukuuuu. Lili kan malas baca buku!” seru Lili dengan kecewa.

“Hei, kamu belum tahu nikmatnya membaca buku rupanya. Kalau sudah senang membaca, kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi. Nah, sekarang coba kamu baca buku yang ini!” kata Nenek sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar.

“Kalau tebal, malas ah bacanya!” kata Lili dengan segan. “Tidak, ini cuma 24 halaman. Tiap halaman ada gambarnya dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil. Bagus, Iho! Anak-anak di berbagai negara sudah membaca buku ini!” Nenek memberi semangat.

Lili mulai membaca. Eh, ternyata menarik juga. Nenek tersenyum dan berkata, “Kamu sudah kelas empat. Sayang sekali kamu belum mengenal banyak cerita yang bagus. Sebetulnya buku bukan hanya buku cerita, tetapi ada juga buku tentang berbagai pengetahuan. Misalnya kamu mau tahu asal minyak tanah, atau cara kerja tukang pos, atau tentang menanam bunga atau apa saja, semua ada bukunya!”

“lya, Nek? Kalau buku cara membuat mainan dari kertas, ada tidak Nek? Itu Iho, seperti membuat perahu, burung. Lili mau baca buku itu kalau ada!” kata Lili.

“Tentu saja ada. Nanti, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti, makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal. Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa bosan. Bermain dengan kawan memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti kalau kamu menjadi mahasiswi, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang tebal-tebal!” kata Nenek.

“Buku ceritanya dari mana, Nek?” tanya Lili.

“Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu atau dua buah buku. Kemudian kamu bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu yang punya buku cerita. Selain itu kamu juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu ada perpustakaan tidak?” tanya Nenek.

“Ada. Tapi Lili belum pernah pinjam!” Lili mengaku terus terang.

“Lili! Lili! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan. Tetapi, baiklah! Sekarang Nenek akan membimbingmu. Nenek akan pinjamkan buku-buku yang menarik, supaya kamu rajin membaca. Sesudah itu berangsur-angsur kamu mulai membaca buku yang banyak teksnya!” kafa Nenek.

Selama satu bulan Nenek akan sering datang membawa buku cerita untuk Lili. Sampai akhirnya, bila Lili sudah gemar membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-buku cerita.

Lili sudah bisa mencari sendiri buku cerita atau pengetahuan yang dibacanya. Yang penting juga, Lili sudah mendapat obat bosan yang ampuh dari Nenek, hingga seumur hidup dia akan bebas dari penyakit bosan.

Baca Juga: Apa Saja Unsur-Unsur Ekstrinsik Cerpen? | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Sayup Tifa Mengepung Humia

Sayup Tifa Mengepung Humia

Kelak setelah dimiliki Bone, Waita akan menempati humia baru. Tidak lagi bersama Mama Aname. Waita akan menjadi mama baru di humia barunya, seperti seekor cendrawasih membuat sarang baru di dahang laingliu. Bone menegakkan humia dengan tiang utama dari batang bohon soang yang berbulan-bulan direndam dalam aliran sungai warsor. Deras sungai warsor akan menguatkan batang soang. Waita akan segera dinikahkan di depan para tetua dan dukun Hobone, kemudian menuju Soroani, dusun Bone.

Mama Aname telah menerima banyak mas kawin dan harta adat dari Bone; lima ekor wam, tiga tali ijebasik, lima buah wanggokme yang harus diasah oleh mempelai laki-laki, dan tiga ikat ebekanem. Mas kawin dan harta adat begitu besar dirasa sepadan dengan Waita, penari hunuke paling sintal di Hobone. Betisnya sepenuh paruh kasuari, lambang kebanggaan orang-orang Hobone. Dadanya ranum, kencang, dan tidak terlalu besar. Yang lebih menjadikan Waita harta berharga adalah beberapa hari sebelum Bone melamar, Waita melakukan upacara muruwal bagi perempuan Hobone. Upacara pengenalan tugas perempuan, setelah darah kali pertama menetes dari selangkangan. Darah itu kelak akan menandakan ketangguhan perempuan Hobone. Yang siap membahagiakan suami, memelihara babi dan kebun sagu, serta melahirkan banyak anak lelaki.

Rangkaian Peristiwa: “Mama, apa perempuan tak boleh menikah dengan lelaki yang dicintai?” tanya Waita kepada Mama Aname yang sedang mewarnai tubuh Waita. Aroma babi bakar masuk ke dalam humia mereka.

“Tentu boleh, Waita.”

“Apa Waita bisa menolak pernikahan bila tidak suka dengan calon suami?”

Mama Aname terdiam. Tangannya yang belepotan cairan kapur dan jelaga pembakaan kayu kasuari berhenti. “Kamu sudah menjadi yomine, Waita.”

Waita diharapkan mampu meredam konflik antara Hobone dan Soroani. Bibit permusuhan sudah lama terperam. Hanya lantaran dua dusun itu berbeda nasib. Hobone yang berada di soli, daerah lebih tinggi dan lebih subur. Tidak pernah merasakan kelaparan, betatas dan ubi tersedia sepanjang tahun. Adapun Soroani berada lebih bawah, olobok, yang tidak sesubur Hobone.

Permusuhan itu kembali tumbuh, ketika suatu hari seorang perempuan Soroani tertimpa batang sagu yang dirobohkan seorang laki-laki Hobone. Kepalanya pecah dan mati di tempat. Padahal sudah terpasang seiye, tanda larangan untuk melewati lahan orang Hobone karena sedang masa penebangan pohon sagu. Kelalaian perempuan itu membangkitkan amarah yang terperam di dada-dada orang Soroani. Perang tak terhindarkan. Terjadilah saling serang. Busur dan panah beracun, kapak, dan parang beterbangan di tengah rimbun. Setiap hari banyak lelaki Hobone dan Soroani mati. Banyak nyawa terbawa ke langit, dimuliakan, mati di medan perang bagi laki-laki adalah kebanggaan.

“Waita, Bone sudah menghendakimu. Ini untuk mereda peperangan dan sudah jadi kesepakatan para dukun di rumah yowi.”

“Apa Waita harus ditukar dengan perdamaian?”

“Lebih baik membuat persaudaraan daripada mencipta permusuhan, Waita. Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende. Ingat itu, Waita!” Mama Aname bersikeras.

“Mama, tapi Waita tidak pernah tahu apa yang perempuan kerjakan di Soroani.”

“Suamimu dan Mama Ibo akan mengajarimu menjadi perempuan Soroani.”

Mata Waita mengerjap-ngerjap. Baru beberapa hari lalu dia merasakan perayaan menjadi wanita seutuhnya. Waita masih bergantung pada Mama Aname dan sekarang dia harus bersiap untuk dibawa Bone ke humia baru di Soroani. Seperti seekor burung bermigrasi dari sarang satu ke sarang baru, bila telur-telurnya sudah menetaskan riuh kasuari baru.

Setiap memikirkan aneka hal baru yang akan mengubahnya, ada keganjilan yang tumbuh di kepalanya. Waita mengingat bagaimana sosok Ewoyop. Sosok lelaki Hobone yang memainkan tifa begitu merdu.

Kayu-kayu kasuari dibelah dengan kapak. Kayu-kayu itu akan dibakar dan menghasilkan bara api konstan. Anak-anak kecil laki-laki perempuan menyunggi bebatuan yang diambil dari sungai. Beberapa laki-laki memanggul babi di pundak. Para mama membawa betatas dan buah pandan merah di dalam tas hakone yang dikaitkan di kepala mereka. Beberapa masih digelatuti balita di bagian dada dan menggandeng seorang lagi. Semua wajah begitu ceria.

Tetua adat dan para dukun di rumah yowimemutuskan akan mengadakan upacara persembahan untuk alam di tengah Hobone, di sebuah tanah lapang yang bersih dari semak belukar. Beberapa hari lalu longsor mengubur empat desa di lereng gunung. Hobone diselamatkan. Sebagai ucap syukur upacara persembahan digelar, banyak tamu diundang, tari-tarian dan musik dipentaskan.

“Waita, kau menari hari ini?” tanya seorang mama, bibirnya merah karena sirih. Seorang bayi, mungkin lima bulan, tidak hendak lepas dari puting kanannya.

“Ya, Mama,” jawab Waita. Mukanya sedang dirias dengan dominan hitam-putih.

Keriuhan merasuki sela-sela pohon sagu sekitar Hobone. Lubang untuk tungku sudah selesai digali. Beberapa laki-laki gegas membuat api, dari seutas sumbu yang digesek dengan batu. Kayu kasuari kering diletakkan di atasnya, lalu batu dipanaskan hingga berganti warna putih. Setelah itu batu dipindahkan dengan batang kayu yang dibelah tengah menjadi penjempit ke dalam tungku. Di sanalah babi, betatas, umbi-umbian, dan aneka sayur siap dibakar.

Laki-laki menunggu di sekeliling tungku sambil mengisap pali, sebatang koteka mengacung hingga dada. Muncul gemerincing bunyi akibat gesekan ujung koteka dengan kalung para lelaki.

Waita bersiap menari. Para pemusik sudah siap di ujung perhelatan. Di saat itulah Waita menemukan sosok lelaki yang begitu damai memetik tifa. Ewoyop tidak ubahnya lelaki Hobone lain, tapi tatapan matanya menyiratkan binar berbeda. Waita harus menari. Diiringi musik Ewoyop dan bebunyian dari mulut lelaki Hobone. Waita mengagumi bagaimana Ewoyop memukul-mukul tifa secara konstan. Terutama betis Ewoyop tampak begitu kukuh saat melompat-lompat mengatur tempo nyanyian para mama dan gerakan penari hukune.

Alam Hobone mengajarkan mata laki-laki bisa menembus segala hal, setajam ujung tombak saat berburu rusa di tengah hutan. Adapun mata perempuan harus merunduk tak berani saling tumpu. Mata perempuan hanya untuk mengurus betatas, ladang sagu, pakan babi, dan menyusui para bayi. Tidak lebih dari itu. diam-diam Waita menerawangkan mata hingga dua mata Ewoyop begitu berani merasuk ke tubuhnya.

Sebagaimana kehidupan lereng gunung mengepung Hobone yang tumbuh tanpa komando, ada perasaan naluriah manusia yang diam-diam tumbuh di dada Waita. Isyarat itu makin kentara ketika tiba-tiba Ewoyop mengirim seikat betatas dan ubi jalar kepada Waita. Di Hobone jarang terlihat lelaki dan perempuan berbicara. Mereka ragu. Namun keduanya meyakini ada hal istimewa yang mereka rahasiakan. Hanya Waita dan Ewoyop yang tahu, yang mendekap begitu rahasia begitu pribadi.

Namun perempuan Hobone tak punya kuasa atas tubuhnya. Tetua adat dan para dukun rumah yowi memutuskan segalanya. Bahwa Waita akan dinikahkan dengan Bone untuk meredam konflik antara dusun atas dan dusun bawah.

“Cantik sekali kamu, Waita.”

Waita membalas dengan senyuman hambar. Aneka riasan dan perhiasan dari kerang tertempel di tubuhnya. Bulu cenderawasih dan kasuari tergantung di kepala. Sejak pagi Waita sudah melakukan prosesi adat. Mandi di sungai untuk melunturkan semua kotoran. Kulit hitamnya mengilat tertimpa sinar matahari. Halus. Bibirnya merah, perasan buah pandan merah yang mengilatkan dan meronakan bibir.

“Mama, apa wanita tidak bisa memilih di humia siapa akan tinggal?”

“Waita, tidakkah kamu tahu tetua dan dukun rumah yowi sudah memutuskan semua? Semua harta adat sudah diterima. Dan kamu bukan hanya menjadi istri Bone. Kamu adalah peredam konflik antara dusun atas dan dusun bawah.” Waita menghela napas. Matanya tak hendak berkaca, tapi ada sesuatu yang berguguran di dadanya.

“Katanya wanita dusun bawah harus bekerja lebih keras daripada wanita dusun atas?”

Waita menggeleng, ingin menarik semua ucapan yang mendadak keluar.

“Waita, semua penghuni humia harus patuh pada suami.”

Sebelum upacara pernikahan dihelat, aneka makanan disiapkan. Tungku untuk bakar batu, babi dan betatas tidak tertinggal. Termasuk aneka musik tifa dan penari. Waita yakin Ewoyop termasuk di dalamnya. Mantra dan dendang gembira disenandungkan oleh tetua adat dan dukun rumah yowi. Selepas upacara, Waita diboyong ke humia Bone di Soroani. ***

Waita menatap atap humia. Dia tidur telentang lebih dahulu di atas lambaran tikar pandan di lantai dua. Pintu yang sempit sesekali membawa masuk hawa dingin, angin gunung masuk dan menggigilkan tubuh Waita. Di lantai satu api unggun kecil berusaha menghangatkan humia.

Bone berdeham. Kemudian unggung dipadamkan. Waita mulai gemetar. Bone naik melalui tangga dan mendekati Waita. Humia gelap, tapi Waita bisa merasakan embusan napas Bone beraroma pali. Bone merengkuh tubuh Waita. Bone menciumi tubuh Waita. Tapi semua ditanggapi dingin. Bone mengunci betis Waita. Bone hendak menyenangkan diri atas tubuh Waita. Anak panah Bone hendak dilepas ketika muncul suara halus terbawa angin masuk ke humia.

“Siapa yang memainkan tifa malam-malam begini?” ***

Catatan: Humia: nama lain rumah adat Papua wam: babi ijebasik: kulit kerang wanggokme: kapak batu ebekanem: tembakau hunuke: tarian kebahagiaan Akahi paekahi yae ewelende, wah onomi honomi eungekende: jika semua orang dianggap saudara, hidup kita akan damai yomine: pendamai dua perkampungan yang bermusuhan rumah yowi: rumah inti, tempat berkumpul para dukun dan tetua adat pali: rokok tradisional

Oiya, buat kamu yang mau baca cerpen lebih banyak, boleh banget klik link ini ya!

Baca Juga: Rubrik Dunia Kata – Kumpulan Cerpen Ruangguru

Nah, dengan melihat berbagai contoh cerpen yang menarik barusan, apakah kamu menjadi lebih tahu mengenai pengertian dan struktur cerpen? Kamu juga bisa mulai mencoba menganalisis struktur dari cerpen yang kamu baca sehari-hari, lho. Buat yang belum paham, yuk belajar lewat video beranimasi di ruangbelajar! Selain video belajar beranimasi, ada juga soal latihan beserta pembahasannya dan rangkuman.

Catatan Pringadi [daring]. Tautan: https://catatanpringadi.com/category/cerpen/ (Diakses: 19 September 2023)

Kliping Sastra Indonesia [daring]. Tautan: https://klipingsastra.wordpress.com/ (Diakses: 19 September 2023)

Nafisah, Sarah. 2020. Cerpen Anak: Gara-Gara Nenek Lupa. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/082010265/cerpen-anak-gara-gara-nenek-lupa?page=all pada 7 Oktober 2022.

Narakata. 2022. Cerpen Suatu Sisi Dalam Hidupmu Karya Andriani. Diakses dari https://www.narakata.id/2022/01/cerpen-suatu-sisi-dalam-hidupmu-karya.html pada 7 Oktober 2022.

Suherli dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas 11. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Toemon, Sylvana. 2018. Lukisan Kasih Sayang. Diakses dari https://bobo.grid.id/read/08674606/lukisan-kasih-sayang?page=all pada 7 Oktober 2022.

Martin, Syrli. 2016. Si Kancil dan Buaya dari http://cerpenmu.com/cerpen-anak/kancil-dan-buaya.html pada 22 November 2022.

Vara. 2014. Kerbau dan Jalak dari https://kumpulantulisan25.blogspot.com/2014/12/cerpen-karya-anak-vara.html pada 22 November 2022.

brgfx. Free vector cartoon character of a boy playing guitar with melody symbols [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/cartoon-character-boy-playing-guitar-with-melody-symbols_18616513.htm#page=2&query=boy%20playing%20a%20guitar&position=9&from_view=search&track=ais (Diakses: 19 September 2023)

pch.vektor. People Reading Books in Library [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-vector/people-reading-books-library_9650640.htm#query=reading%20a%20book&position=3&from_view=search&track=ais (Diakses: 18 September 2023)

Artikel ini pertama kali ditulis oleh Shabrina Alfari, kemudian diperbarui oleh Laras Sekar Seruni.

Karya : Bekti Lestari

Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang nyaman, harmonis dan juga mendapat kasih sayang dari orangtua. Namun, mengapa aku tidak pernah bisa memiliki kehidupan itu. Tak pantaskah aku mendapatkannya? Sesungguhnya, sebuah kasih sayang dari orang tua tak akan bisa tergantikan dengan apapun. Aku yakin Allah merencanakan semua ini adalah yang terbaik buatku dan juga keluargaku. Semoga dengan aku menceritakan semuanya bisa membuat perasaan ini jauh lebih baik dan tak akan ada kesedihan lagi di hari-hari yang akan aku jalani. Perkenalkan namaku adalah Hanyfah. Aku akan menceritakan pengalamanku yang menyedihkan ini sama kalian semua semoga ini tidak akan pernah terjadi buat yang membacanya. Aminnn….

Entah darimana aku harus memulai ini semua, Seorang ibu yang terus bersabar mengadapi sebuah cobaan yang tidak bisa aku bayangkan membuatku setiap hari harus menangisi keadaan ini. Aku benci keadaan ini. Aku benci diriku sendiri yang lemah. Aku membenci Ayah yang tak pernah bisa mengerti perasaan ibu mengapa Ayah harus menuruti permintaan nenek yang membuat keadaan ini semakin rumit. Mengapa nenenk setega ini memisahkan Ayah dengan Ibu. Aku gak habis fikir semua yang ada di rumah ini harus menjadi orang yang gak punya perasaan sama sekali. Aku juga mempunyai seorang kakak, tapi percuma aku punya seorang kakak yang hanya membahagiakan dirinya sendiri, menjadi leleki yang selalu membuat situasi ini tak akn pernah berakhir dari pertengkaran. Harusnya kakak tau keluarga kita sedang berantakan tapi masih sempat-sempatnya kakak memikirkan dirikakak sendiri dibanding adik yang selalu disalahkan di hadapan Ayah. Aku benci semuanya. Aku tahu ibu memang wanita yang tak sempurna dia mempunyai kekurangan gak bisa berjalan seperti wanita normal, tapi apakah mereka harus berpisah rumah seperti ini dan ayah harus meninggalkan ibu dalam keadaan yang tak berdaya ini.

Saat itu, aku dan ibu sedang memasak dan saling bercerita. “ Ibu, maafkan aku jika aku harus lahir kedunia ini dan membuat keadaan ini tak pernah membaik, aku tau ibu selalu sedih dan terpukul saat Ayah ingin menceraikan ibu, maafkan aku ibu”? Menangis dan memeluk ibu.

“Nak, kau jangan pernah berbicara seperti itu, Kamu adalah anak ibu yang dianugrahkan dari tuhan untuk melengkapi keluarga ini. Ayah, munkin bersikap seperti itu karana dia tidak bisa menerima ibu seperti wanita yang sempurna.” Mencoba terlihat tegar dihadapanku.

“ Ibu, bagiku kau adalah wanita yang sempurna yang pernah ku miliki. Mengapa ayah jahat sama kita, apakah ayah udah gak sayang lagi sama kita”? terus menangis.

“ Ayah tidak jahat sama kita nak, ayah sayang sama kita.” Kata ibu meyakinkanku. “Lalu mengapa kalo ayah sayang sama kita, ayah harus memilih berpisah ruamah. Aku benci sama ayah.” Dengan nada yang keras hingga terdengar ayah saat lewat. “Apa! Kamu membenci ayah, berani-beraninya kau mengatakan itu pada ayah!”.kata ayah dengan nadak kasar dan marah. “ Ayah, kenapa ayah tega melakukan semua ini sama ibu.Apa salah ibu ayah sampai ayah membuat ibu menangis, ibu sangat mencintaimu dan menyayagimu tapi apa balasanmu ibu, kau hanya pada membuatnya sakit hati dan menangis.” Kataku dengan kesal. “ Ayah melakukan semua ini demi kebaikan kita semua. Kamu harus tau itu Hany.” Dengan nada menenangkanku.

“ Sudahlah hany ibu tidak apa-apa kalau memang itu yang terbaik buat keluarga kita,ibu tak keberatan dan kamu Ayah sebaiknya kita memang lebih baik berpisah agar kau lebih tenang dengan hidupmu.” Sedikit kesal dan terus menangis. Lalu akupun berlari masuk kekamar denan terus menangis tanpa henti dan berkata “ Aku benci sama ayah”!.

Hingga aku tak mampu menahan beban yang ku hadapi ini. Semakin lama semakin tak mampu untuk aku hadapi bagaimana mungkin aku harus menerima ibu tinggal bersama kaka dan aku harus tinggal bersama ayah. Aku ingin keluarga kita utuh seperti dulu lagi manjalani masa-masa yang indah dengan canda tawa yang tak bisa tergantikan dengan apapun. Saat itu aku mendengar ayah bersama ibu bertengkar di ruang tamu dan aku berada di kamarku.

“kamu bukanya sebagai ibu mengajari anakntya dengan sopan santun malah membuatnya membenci ayahnya sendiri, ibu macam apa kamu ini!” dengan nada kasar.

“Harusnya kamu sebagai ayah yang bertanggung jawab di keluarga ini lebih mengutamakan anakmu dibanding memilih untuk berpisah. Apa kau tak kasian dengan mereka yang setiap hari mendengar kita berantem seperti ini!”. Menangis tanpa henti. Lalu aku pun sudah takuat lagi mendengar mereka bertengkar setiap hari akau malu dengan teman-temanku mereka selalu bahagia yang selalu menyayagi mereka, tapi kenapa aku gak memilikinya, semua ini gak adail. Aku pergi keluar dan menghentikan pertengkaran ayah dan ibu.

“Berhenti! Apa kalian ini tak malu dengan anakmu yang terus melihat kalian seperti ini. Apa kalian belum cukup membuatku menangis harus menahan rasa kekecewaan ini,mungkin ayah dan ibu bahagian denan keadaan ini tapi aku gak sama sekali ayah,ibu. Aku ini anak kalian harusnya kalian memberikan contoh yang baik kepada anaknya bukanya seperti ini. Tak mengertikah kalian dengan perasaanku.” Menangis dan sangat kecewa.

“Lihat itu anak kamu. Hany terlalu kecil untuk menerima ini semua apakah kau tega memeisahkan aku dengannya.” Kata ibu dengan tegas.

“ Aku memang memisahkan kalian. Aku tidak mau mempunyai seorang istri yang lumpuh seperti kamu! Tidak bisa merawat anak kita dengan baik karena kau tak bisa berjalan. Sebentar lagi aku akan menceraikanmu dan mencari ibu yang mamapu membuat hany bahagia.” Kata ayah dengan penuh amarah.

“Diam! Tidak bisakah kalian diam. Semua ini membuatku tersiksa. Ayah, apa ayah tidak mempunyai perasaan dengan ibu, sehingga kau mampu untuk melupakannya dan memutuskan untuk menikah lagi. Baiklah ayah ceraikan ibu! Lebih baik ayah menceraikan ibu dari pada ibu menahan sakit hati yang begitu dalam. Aku benci ayah!”. Menangis dan keluar dari rumah.

“Hany, kau mau kemana nak? Jangan dengarkan ayahmu dia hanya bercanda,kembalilah nak?” berlari mengejarku.

“ Aku tak mau punya ayah yang gak punya perasaan. Biarkan akau pergi untuk sementara waktu untuk menenangkan hati ini ibu. Maafkan aku.” Pergi dan terus menangis sepanjang jalan.

Setelah kejadian itu, aku menjadi anak yang Broken Home dan terus menjalani kehidupan yang sering kali aku tak bisa berfikir positif. Setiap hari aku disekolah menjadi anak pendiam, nilai pelajaranku turun semua kehidupan ku menjadi berantakan. Hingga aku memutuskan untuk pergi jauh dari rumah agar aku tak mendengar pertengkaran yang membuatku tak tahan untuk tinggal dirumahku sendiri. Sebenarnya ku tak ingin melakukan ini semua tapi aku tak tahan dengan semua yang aku hadapi aku menjadi korban dalam pertengkara ibu dan ayah. Ibu maafkan aku melakukan ini aku telah menjadi anak yang tidak berbakti kepada orangtua, aku berjanji dengan kepergianku ini aku akan menjadi anak yang baik dan aku akan kembali setelah aku bisa membalas semua jasamu. Akau ingin membahagiakanmu dan memberikan yang terbaik untuk ibu. Semoga ibu disana baik-baik saja. Ayah, aku tahu ayah malu dengan keadaan ibu yang tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tak seharusnya kau tega menceraikan ibu dan mencari wanita lain yang jauh lebih sempurna dari ibu. Ayah harus tahu ibu sangat mencintai ayah seperti aku mencintai ayah. Semoga dengan kepergianku ini kalian bisa memikirkan hidup kalian masing-masing. Suatu saat nanti aku akan kembali untuk kalian. I Love you Ded, I love you Mom, Your My Everything……..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Cerpen Selengkapnya

Pada saat bangun pagi seorang wanita berkata pada suaminya, "Tadi malam Aku bermimpi engkau memberi aku sebuah kalung berlian di hari Valentine ini. Bagaimana pendapatmu mengenai mimpiku itu?"

"Engkau akan segera mengetahuinya malam ini juga, Sayang," jawab suaminya. Malam itu si suami memberikan kepada isterinya sebungkus kado.

Dengan hati berdebar-debar penuh kebahagiaan sang istri membuka kado itu perlahan-lahan dan isi kado itu adalah sebuah buku yang berjudul, "Arti-arti Mimpi".

Idin : “Mau kemana kamu, Din?”

Udin : “Tarawih lah biar dapat pahala, emang elu.”

Idin : “Alah bilang aja lu mau nyolong sandal.”

Udin : “Kalau ngomong mulutnya dijaga yah, untung bulan Ramadhan. Kalau nggak, udah gua gambar lu din.”

Idin : “Ya maaf, Din. Lah terus kenapa itu sandal nggak lu pakai tapi malah ditenteng?”

Udin : “Ya ini mau gua tuker soalnya yang kemarin kekecilan. Hehehe.”

Iidn : “Wooo dasar lu Din Din!”

Selama beberapa tahun terakhir ini Pak Iwan membiarkan wajahnya ditumbuhi janggut, kumis dan cambang yang lebat. Pada suatu hari, semua itu dicukurnya habis.

Sepulangnya dari tukang pangkas, dia melihat puteranya sedang bermain di depan rumah. Dia ingin tahu, apakah putranya masih mengenalnya dalam keadaan klimis seperti itu. Karena itu, dia bertanya pada puteranya, di mana rumah Pak Iwan.

Dengan ketakutan, anaknya berlari masuk ke dalam rumah, "Bu, Bapak telah mencukur brewoknya, dan kini jadi lupa di mana rumah kita!"

Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!’

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.” ***

Cerpen berjudul Musyawarah Ngengat

Banyak hal yang tak diketahui manusia dari kami.Yang terutama, manusia tak tahu bahwa kami mewariskan ingatan ke anak-anak kami.Bukan sekadar memaktubkan ingatan badani tentang bagaimana menggunakan senjatasenjata yang tersedia di tubuh kami,tapi adalah ingatan tentang pengalaman hidup kami.

Ingatan akan betapa kami membenci manusia. Hanya karena anak-anak kami menggerogoti setitik–dua titik kain yang dikenakannya—karena kodratnya untuk bertahan hidup—mereka membantai jutaan dari kami dengan cara-cara yang mengenaskan.

Pernah aku lolos dari maut hanya untuk melihat bagaimana kawan-kawanku terbujur kaku dengan wajah yang membiru. Maut yang berwujud gumpalan awan—yang anehnya terbang jauh lebih rendah dari ketinggian langit itu—ternyata berasal dari tongkat ajaib yang dipegang seorang manusia.

Namun, di antara kawan-kawanku yang berhamburan bagai dedaunan yang akan menyerah kepada terpaan angin, kekasihku—kekasih pertamaku itu—mengangkat kepalanya melawan kematian.Kemudian, sayapnya berangsur meninggi dan bergerakgerak, berusaha mengepak.

Jikalau kau ada di situ, menyandarkan daun telingamu ke keheningan yang mengikuti rombongan kematian itu, kau akan mendengar jantungku kembali berderap segiat kepak sayap di saatsaat aku menjalin kasih dengannya: aku gembira. Hatiku yang remuk kembali utuh.

Namun, saat ia hendak mendongak, sepertinya untuk membalas tatapanku— dan tentunya menyempurnakan kebahagiaanku—seorang manusia merenggutnya. Dan dengan wajah yang sediam batang pohon, ia merobek kekasihku seperti merobek daun, seperti merobek jantungku di saat yang sama.

Lalu dilepasnya kekasihku ke rengkuhan angin yang menerpa. Kekasihku, dalam kepingankepingan, hanyut ke samudra kematian untuk selamanya. Seandainya aku bisa memilih, aku tak ingin mewariskan ingatan getir ini kepada anak-anakku.Namun,aku tak bisa menentang ketetapan Sang Pemberi, entah apa maksudnya,namun kurasa baik.

Lagi pula, ingatan ini akan mengajar anak-anakku kewaspadaan akan betapa bengisnya manusia. Maka, suatu hari kami semua bermusyawarah, merundingkan bagaimana caranya membalas manusia, mamalia pemegang gelar pembantai terbesar selama abad-abad yang berjalan.

”Apakah kita harus menyerang mereka secara bergerombol seperti yang dilakukan para belalang dahulu, waktu diperintahkan oleh Tuhan untuk menelanjangi kebobrokan Firaun?” usul salah seekor saudara kami. ”Tidak, saudaraku. Senjata yang manusia gunakan sudah berbeda dengan zaman Firaun.

Seandainya pun belalang-belalang itu menyerbu Firaun hari ini, mereka akan segera dilumat dengan awan maut manusia,” jawab tetua kami. ”Tapi,bukankah ada Tuhan?”

”Percuma saja tanpa manusia nabi. Sebab,bila Tuhan datang sendiri tanpa melalui perantaraan manusia nabi, dunia yang terbatas ini dapat luluh lantak dalam sekejap.”

”Lantas,mengapa tak ada ngengat nabi,tetua?” ”Sudahlah.

Sudah sepanjang sejarah, bangsa ngengat merenungkan pertanyaan itu.Tentu musyawarah yang bagai setitik embun dalam sejarah bangsa ngengat ini tak muat untuk merenungkan pertanyaan tersebut.” ”Baik, tetua. Lagi pula,kita sedang mau bertindak,bukan mengeluh.”

Tiba-tiba aku ingat, suatu waktu aku pernah melihat seorang manusia dewasa meronta-ronta, meraungraung selayaknya manusia anak, dan menampar manusia-manusia dewasa lainnya yang, entah mengapa, tertunduk diam di hadapannya. Lantas, dengan tangannya yang gemulai ia menunjuk-nunjuk ke lubang di bahu baju yang dipakaikan pada sesosok patung manusia.

Mengapa sebegitu gegarnya? Kutelusuri dengan waspada pakaian itu,namun tak kutemukan sesuatu yang berbeda kecuali di bagian leher pakaian itu tertempel tulisan ”Guess”. Mengapa manusia dapat kembali menjadi kera hanya karena itu? Sama sekali aku tak mampu mencernanya.

Namun, menyenangkan sekali melihat manusia derajatnya merosot jauh, bahkan di bawah bangsa lintah yang berbangga walau menyeret alat reproduksinya di atas lumpur. Saling menyakiti satu sama lain hanya karena sepotong benda tak bernyawa— yang bahkan tak bisa meruang dalam perut yang lapar.

Dan menurut ingatan nenek moyangku, hanya karena itu pun mereka tega saling mencincang dan mengeluarkan isi perut sesamanya. Kalau begini, nampaknya kami para ngengat pun bisa memicu perang dunia manusia ketiga. ”Kurasa aku tahu apa yang bisa kita lakukan, saudara-saudariku,” ujarku dengan tenang.

Akhirnya kami semua menetapkan bahwa siapa pun yang dapat mendaratkan telurnya di pakaian manusia yang berbubuh tulisan ”Guess”, ”Gucci”, ”Etienne Aigner”,”Marks & Spencer”, ”Boss”, ”Giorgio Armani”, dan lain-lain yang sejenisnya, akan kami angkat sebagai seekor pahlawan dalam ingatan kami.

Itu adalah penghargaan tertinggi yang bisa diterima seekor ngengat. Kata manusia, hidup kami sangat Shakespearian karena harus memilih antara bercinta atau bertahan hidup. Benar bahwa lelaki kami mati setelah bercinta dan wanita kami meninggalkan hidup setelah mendaratkan telur.

Tapi mereka,manusia, sungguh tolol dalam mengartikannya.Apakah yang ada di benak mereka hanya bercinta? Kendati pun tak bercinta, darah dan daging kami hanya seusia sekali pergantian musim.Namun, dalam almari kelabu kepala anak-anak kami— manusia menyebutnya otak, tak berselera sekali?—kami menjadi abadi.

Dan dia, yang diangkat sebagai pahlawan dalam ingatan kami,akan terus hidup dalam palungan ingatan semua ngengat sepanjang jutaan tahun yang melintang.Kendati tongkat kekuasaan bumi telah berpindah-pindah tangan.

Ingatan yang diwariskan oleh seluruh nenek moyang kami menyatakan diri secara sekaligus dalam benak kami seperti pasar. Dalam lorong ingatan yang berjejalan itu, kami menyaksikan masa-masa surga bagi para ngengat yang datang setelah dinosaurus tiba-tiba punah dari muka bumi.

Dunia benar-benar menjadi milik para ngengat seutuhnya. Betapa indahnya kehidupan saat itu. Namun,masa-masa surga itu dalam sekejap pula musnah karena mamalia tiba-tiba muncul dan tak lama kemudian menjadi penguasa dunia. Dalam sekejap berikutnya, ingatan kami tersambung ke ingatan terakhir yang diwariskan kepada kami: bagaimana ibu kami meninggal.

Ia dilumat dengan sapu oleh mamalia yang menjadi penguasa dunia hari ini. Untunglah, sekilas, sebelum dipukul oleh makhluk yang lebih dingin dari zaman es itu,ibu berhasil mendaratkan kami sebagai telur-telur di atas gaun yang membungkus rapat tubuh patung manusia dan bertuliskan ”Marks & Spencer” di lehernya.

Saat itu kami langsung tahu bahwa ibu kami menjadi pahlawan bagi para ngengat. Ingatan-ingatan nenek moyang kami terus berjejalan, membuat perasaan kami terbuai di satu waktu, namun terbanting hingga remuk di detik berikut yang menjalin ingatan getir.Kami ingin bisa mengendalikannya, tapi tak bisa, sebab kami sendiri tak mempunyai ingatan.

Di antara litani ingatan nenek moyang yang riuh menyesaki benak kami, kami tak memiliki ingatan yang berasal dari pengalaman kami sendiri. Sejak kami menetas dari telur, kami tak menyapa apa pun, kecuali kegelapan. Tapi, di sekeliling kami tersedia banyak sekali makanan dan semuanya melelehkan wewangian dunia dalam mulut kami: wol, katun, sutra, kasmir, bahkan bulu beruang.

Maka, kerja kami hanyalah makan atau mendengarkan suara kami sendiri mengunyah dan mencerna, memecah kesunyian sepanjang hayat ini. Kesenangan kecil itu harus berakhir, sebab mulut kami dengan sendirinya tiba-tiba memuncratkan berhelai- helai serabut yang memintal tubuh kami,lalu membungkusnya rapatrapat.

Rupanya kami masuk ke masa kepompong, masa yang membunuh kami dengan kebosanan. Dan kalau bukan kebosanan yang menambatkan belenggunya di pikiran kami,tentu tak lain adalah ingatan nenek moyang yang merobek-robek hati kami, namun kemudian menjahitnya kembali, namun lantas merobeknya lagi.

Namun, akan tiba saatnya untuk mengakhiri semua ini. Saat di mana sayap kami tumbuh,membelah udara hening yang sedari awal menyelimuti punggung kami.Saat bagi kami untuk melawan gaya tarik bumi yang menindih kami dalam ketidakberdayaan, dan kemudian terbang membelah kesunyian. Menerabas kegelapan ini. Merayakan keabadian ibu kami bersama saudara-saudari ngengat yang menanti kami di luar kegelapan ini. ***

Seandainya usia ngengat-ngengat itu mencapai satu tahun, barulah mereka akan menyapa cahaya, kebisingan, dan dunia luar—barulah mereka akan mengalami hidupnya sendiri sebagaimana yang mereka impi-impikan sepanjang hayat. Namun tidak. Ngengat terakhir mati pada hari keseratus sepuluh.

Menyisakan sekitar dua ratus empat puluhan hari lagi sebelum Natal selanjutnya, sebelum lemari kayu oak yang kokoh dan bergaya khas Yunani itu dibuka untuk menyimpan gaun-gaun baru bertuliskan ”Gucci”dan ”Giorgio Armani”. Dan cahaya yang akhirnya menyelisik masuk ke lemari yang rapat itu, menyapa ngengat-ngengat yang sudah berhamburan bagaikan daun.

Menyapa busana-busana berkelas yang sudah berlubang dan compangcamping tak karuan bagaikan medan perang. Menyapa kesunyian yang sejenak pernah diisi oleh kepak sayap para ngengat yang bernafsu membelah kegelapan, tapi tak bisa: apa daya makhluk setipis daun dan tiga senti melawan kayu oak raksasa nan kokoh?

Namun, apa yang direncanakan dalam musyawarah ngengat tak pernah berhasil—kendati martir telah berguguran.Sebab sang nyonya besar melemparkan gaun barunya ke dalam almarinya dan langsung menutupnya, tanpa sepintas pun menoleh ke gaungaun lamanya yang sudah dibabat oleh sepasukan ngengat muda yang semusim lalu menetas di atasnya.

Lantas,ia melanjutkan hidupnya yang ganjil, tanpa kekurangan sesuatu apa pun. Para ngengat yang bertugas mematamatai istana sang nyonya besar kian tidak mampu memahami perilaku makhluk bernama manusia ini. Mereka pun berpikir, siapa pula ngengat yang mampu.

Maka, peristiwa ini sepatutnya menjadi persoalan baru untuk dipecahkan dalam musyawarah besar ngengat selanjutnya. Dan mungkin ngengat yang dapat benar-benar memecahkannya kali ini patut diganjar Nobel Perdamaian Ngengat. ***

Baca Juga: Belajar Menyunting Karangan Sebelum Dipublikasikan | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Kado Istimewa

Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.

Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.

Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta.

Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.

“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”.

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.

Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi.

Berbincang-bincang tentang masa lalu tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.

“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.

Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus dengan ketus.

“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.

“Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.

Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian.

“Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya Wawuk.

“Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.

“Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.

“Yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.

“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.

“Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”

“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”

“Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”

“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“Apa-apa, kok, mesti laporan.”

“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan… tidak di undang?”

“Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”

“Ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.”

“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”

“Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar omongan kiri kanan.”

“Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak diundang?”

“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”

Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Pidato beserta Struktur, Tujuan & Jenisnya | Bahasa Indonesia Kelas 9